Latest Posts

Tampilkan postingan dengan label Jurnal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jurnal. Tampilkan semua postingan
Ilustrasi

Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang disepakati oleh 10 negara Anggota  dalam blue print, 7 November 2007 di Singapura dan implementasinya diperkirakan pada akhir 2015  MEA akan mulai diterapkan di Indonesia dan Negara anggota lainnya. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 adalah  momentum liberalisasi pasar tunggal perdagangan ASEAN. Seluruh pelaku usaha perdagangan tidak terkecuali perbankan akan menjadi pemain dalam liberalisasi pasar ASEAN.
MEA diproyeksikan akan dapat menjaga stabilitas politik dan keamanan regional ASEAN, meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasar dunia, mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan standar hidup penduduk negara anggota ASEAN segera siap terwujud.
Dampak utama MEA adalah semakin terjadinya liberalisasi ekonomi dikawasan ASEAN. Blue Print MEA 2015 memberikan panduan bahwa akan terjadi arus bebas ekonomi setidaknya dari beberapa hal yakni; barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja.
Sebagian pihak menkhawatirkan hadirnya kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 sebagai sebuah ancaman karena pasar potensial domestik akan diambil oleh pesaing dari negara lain. Kekhawatiran tersebut tidak beralasan jika memang kita mampu menunjukkan daya saing (competitiveness) yang tinggi. Apakah industri perbankan syariah Indonesia siap menghadapi MEA 2015?
Kekuatan penting yang dimiliki perbankan syariah di Indonesia adalah baiknya pelaksanaan fungsi intermediasi yang terlihat dari Financial to Deposit Ratio (FDR) yang tinggi, lengkapnya perangkat peraturan terkait prudential banking, shariah compliance, maupun accounting standard.
Potensi besar perbankan syariah lainnya bisa dilihat dari pesatnya pertumbuhan. Pertumbuhan aset bank syariah mampu menembus hingga 46,59 %. Sementara perbankan konvensional saat ini hanya sebesar 12,4 persen.
Berikut beberapa alasan yang mendukung dan menunjukkan bank syariah di Indonesia lebih siap menyongsong MEA diantara Negara anggota lain, terutama Malaysia.
Pertama , standar akuntansi syariah. Di Negara-negara Asean, hanya di Indonesia-lah yang mempunyai standar akuntansi syariah untuk bank syariah. Ini menunjukkan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan negara lain. Di Malaysia pada awalnya mereka mempunyai standar akuntansi syariah, namun belum terlalu lengkap dan akhirnya malah dicabut. Bank syariah di Malaysia malah menggunakan standar akuntansi konvensional berbasis International Financial Reporting Standard (IFRS). Hal ini juga terjadi di Singapura, Thailand dan Brunei, mereka tidak mempunyai standar akuntansi untuk bank syariah.
Contoh yang menarik adalah CIMB Islamic Bank di Malaysia yang mempunyai Bank CIMB Niaga Syariah di Indonesia, mereka harus menyesuaikan akuntansi sesuai dengan PSAK syariah di Indonesia, ini berimplikasi juga pada produk yang mereka tawar-kan di Indonesia.
Kedua, risiko syariah. Yang dimaksud dengan risiko syariah disini adalah penerimaan produk syariah di suatu negara (Tariq, 2004).
Beberapa skema produk perbankan syariah di Malaysia tidak diterima di Timur Tengah dan di Indonesia, misalnya  bay al innah jual beli cicil kembali beberapa skema syariah lainnya. Ini menunjukkan skema produk bank syariah Indonesia mempunyai pangsa pasar yang luas di Asean, namun tidak berlaku bagi Malaysia ke Indonesia. Hal yang serupa juga diadopsi di Brunei, sedangkan perbankan syariah di Singapura dan  Thailand rela-if lebih berhatihati dalam menge-uarkan skema produknya sehingga dapat diterima di negara lain.
Sementara itu hal yang perlu diperhatikan bahwa aset pendapatan bank syariah terbesar di Indonesia sebesar 5,4 US dollar, dan belum mampu masuk ke dalam 25 jajaran aset bank syariah terbesar di dunia, sementara itu tiga bank syariah Malaysia masuk ke dalam daftar. Hal ini menunjukkan bahwa skala ekonomi bank syariah Indonesia masih kalah dengan bank syariah Malaysia yang akan menjadi competitor utama. Dengan  Belum tercapainya skala ekonomi tersebut membuat operasional bank syariah di Indonesia kalah efisien.
Aspek lain yang menjadi kekurangan yakni diferensiasi produk keuangan  syariah di Indonesia yang dinilai masih kurang. Hal ini disebabkan oleh faktor bisnis model industri perbankan syariah, yang lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan di sektor riil dan sangat menjaga ‘maqasid syariah’. Hal ini berbeda dengan negara lain yang peranan produk-produk di sektor keuangan (pasar uang dan pasar modal) lebih dominan. Kekurangan instrumen di pasar keuangan syariah tersebut berdampak pada pengelolaan likuiditas perbankan syariah.
Kendala lainnya yang perlu mendapat perhatian serius adalah upaya untuk memenuhi kuota SDI dari tenaga kerja domestik agar tidak diisi oleh tenaga kerja asing. Perlu disadari bahwa salah satu butir kesepakatan dalam MEA 2015 adalah “freedom of movement for skilled and talented labour”s. Hal ini merupakan tantangan yang serius, mengingat Sarjana dan dan SDM syariah Indonesia yang mayoritas masih minim pengalaman, dan kurangnya hard skill maupun soft skill.
Selain itu masih minimnya pusat pelatihan dan riset terkait perbankan syariah baik formal maupun nonformal juga menjadi kendala, padahal untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat, penguasaan ilmu dan teori tidaklah cukup, karena harus diimbangi dengan keahlian dan keterampilan yang langsung dapat diimplementasikan atau dengan kata lain sarjana dan calon tenaga kerja harus sudah siap dan memiliki sertifikasi untuk langsung bisa dipakai jasanya.
Maka daripada itu perlu adanya rekstrukturisasi dari sisi sistem dan kelembagaan baik dari Pemerintah maupun lembaga Pendidikan untuk lebih mengarahkan SDA yang ada kepada penguasaan IPTEK dan bahasa, serta lebih memperbanyak melakukan pelatihan dan riset baik dalam lingkup regional maupun dengan lembaga maupun asosiasi lain baik skala nasional maupun internasional.

Penutup
Berbagai peluang dan tantangan di atas menunjukkan bahwa upaya keras dari seluruh stake holders industri keuangan syariah sangat dibutuhkan. Perlu keterpaduan langkah dari para praktisi, akademisi maupun asosiasi agar pengembangan menjadi lebih efektif dan efisien. Agar kedepan industri keuangan syariah nasional semakin berkualitas, berkembang secara berkelanjutan dan mampu bersaing dalam kancah persaingan global, khususnya dalam menyambut MEA 2015.(Esai pribadi).